Pembelajaran Bahasa Inggris Kurikulum Ktsp 2006 Yang Baik Dan Benar

Maka dari itu: I Made Sujana, Hj. Tri Nuryanti & Luh Sri Narasintawati (PBS FKIP Universitas Mataram, SMP Negeri 2 Mataram, SMP Negeri 14 Mataram)


Abstract
. Indonesia has launched the 7th
curriculum — called KTSP 2006 (2006’s School-Based Curriculum) – whose aim is to give autonomy to school to manage its own education. However, if it is traced at the subject level, especially at English subject, there is no significant difference between 2006’s KTSP  and 2004’s CBC. The major change happening  is on  the transition from 1994’s curriculum to 2004’s CBC in terms of theoretical and philosophical foundations being applied. This paper will analyze the philosophically and theoretical foundations in teaching English in Indonesia and their impacts on the English curriculum of English Education Department.


Key words
: 2006’s School Based Curriculum, theoretical and philosophical foundation, English subject


Abstrak
. Indonesia meluncurkan kurikulum ketujuh dengan jenama KTSP 2006 nan bertujuan untuk memberikan kemandirian pada sekolah dalam manajemen pendidikan. Tetapi jika ditelusuri secara esensi puas bidang studi, kurikulum ini terbatas lebih sederajat dengan KBK 2004. Dalam bidang studi Bahasa Inggris, tidak suka-suka perlintasan nan mendasar anatara KBK 2004 dengan KTSP 2006. Lebih lagi nan terjadi perlintasan besar adalah dari Kurikulum 1994 (supplemen 1999) ke KBK 2004 dalam situasi landasan filosofi dan teoritis yang melatarbelakanginya. Tulisan ini mencoba memaparkan kedua galengan tersebut dalam KBK 2004/KTSP 2006 pada alat penglihatan pelajaran Bahasa Inggris serta memaparkan dampak transisi tersebut terhadap kurikulum LPTK Bahasa Inggris.


Pembukaan-pengenalan kunci
: KTSP 2006, limbung filosofi, landasan teoritis, bahasa Inggris

  1. PENDAHULUAN

Menjawab tantangan adapun mutiara pendidikan di Indonesia Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Direktorat Pendidikan Dasar dan Direktorat Pendidikan Sedang merespon secara meriah dengan melakukan perlintasan-pertukaran. Sejumlah hari bungsu ini Depdiknas disibukkan dengan mengejar matra yang tepat untuk kurikulum pada tataran pendidikan pangkal (SD dan SMP) dan pendidikan madya (SMU). Mulai tahun 2002 digulirkan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang kemudian menjadi draft Kurikulum 2004. Walaupun belum disahkan maka dari itu yang berhak, KBK 2004 sudah banyak diterapkan di sekolah-sekolah umpama uji coba. Tentu tetapi sebelumnya telah didahului dengan pelatihan-pelatihan  untuk guru dan jajaran terkait yang barangkali telah menghabiskan dana yang tidak minus.

Belum tuntas secara menyeluruh pemahaman guru mengenai KBK 2004, pemerintah lagi melakukan revisi dengan menyorongkan nama Kurikulum Eceran Tingkat Pendidikan (KTSP) 2006. Dari perjalanan kurikulum di Indonesia KTSP 2006 merupakan kurikulum yang ketujuh nan diterapkan. Sebelumnya Pemerintah Indonesia pernah menerapkan Kurikulum 1954, 1964 (supplemen 1968), 1975, 1984, 1994 (supplemen 1999) dan KBK 2004 (tatap Mirizon, 2004; Priyono, 2004). Ini bermanfaat kecuali antara KBK 2004 dan KTSP 2006 Indonesia melakukan perubahan kurikulum 10 tahun sekali. Tentu saja perubahan tersebut memiliki kalangan yang awet dan setelah melakukan studi kelayakan dan dengan menimang-nimang hasil kurikulum sebelumnya, bukan disebabkan maka itu transisi Menteri Pendidikan seperti yang sering disindirkan masyarakat biasa. Pertukaran Kurikulum 1994 ke KBK 2004 dilandasi beberapa alasan, antara lain: (a) murid memiliki potensi yang berbeda dan potensi ini akan berkembang kalau stimulus yang diberikan sesuai; (b) kualitas pendidikan kita masih rendah dan mencupaikan beberapa aspek seperti moral, karakter, kecakapan usia, dll.; (c) sayembara universal mensyaratkan kompetensi – yang memiliki kompetensi akan boleh bertahan, yang tidak akan gagal; (d) perlombaan terjadi pada SDM yang merupakan produk dari pendidikan; dan (e) perlombaan terjadi plong institusi pendidikan (Depdiknas privat Mirizon, 2004).

Bikin mata pelajaran bahasa Inggris perubahan dari KBK 2004 ke KTSP 2006 siapa tidak banyak mengalami perubahan kecuali perampingan dalam diversifikasi-jenis wacana. Landasan filosofi dan guri teoritis yang digunakan pada kedua kurikulum ini sama, nan berlainan adalah KTSP 2006 menyerahkan otonomi pada sekolah (n domestik kejadian ini guru Bahasa Inggris) untuk mengembangkan sendiri silabus dan radas pendedahan lainnya berlandaskan visi dan misi sekolah dan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikeluarkan maka dari itu Depdiknas. Perlintasan mendasar yang terjadi justru pada perubahan dari Kurikulum 1994 supplemen 1999 ke KBK 2004 karena adanya perubahan landasan filosofi dan gudi teoritis nan digunakan dalam KBK yang menghendaki para temperatur dan calon hawa serta para praktisi dalam latar pendidikan bikin memperbaharui konsep-konsep indoktrinasi nan mutakadim mereka kuasai dan gunakan sepanjang ini.

Perlintasan landasan ini tentu membawa dampak besar pola pembelajaran. Untuk merubah komplet ini perlu pembekalan pada master-hawa adapun konsep plonco ini. Ini adalah tantangan tersendiri n domestik pendidikan kita — guru sudah mapan dengan lengkap lama, tiba-tiba harus diperkenalkan dengan pola baru. Dengan penerapan KTSP, terjadi transisi samudra pada diri hawa yang kebanyakan mengedrop diri laksana “user” (karena kurikulum dan silabus dibuat maka itu pemerintah/DEPDIKNAS) ke peran andai “designer” (dimana guru hanya diberikan Barometer Isi nan selanjutnya menjadi tugas temperatur untuk melebarkan sendiri silabusnya) sebagaimana dituntut oleh KTSP. Perubahan “mindset” inilah yang menjadi rintangan dalam sistem pendidikan Indonesia.

Sebagai penghasil tenaga pendidik, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) juga dituntut cak bagi melakukan pembaharuan dengan merekonstruksi kurikulum bakal mengakomodasi peralihan yang terjadi. Bersendikan pengamatan dan analisa penulis terhadap kurikulum LPTK (terutama di Pulau Lada), masa ini masih terjadi ketimpangan nan adv amat segara antara kurikulum LPTK dengan alun-alun (kebutuhan sekolah). Pelecok satu indikasinya terlihat dari keresahan mahasiswa PPL di sekolah dengan istilah-istilah yang bau kencur mereka dengar dan ganjalan temperatur pamong yang membimbing mereka. Hal ini harus diakui memang belum ada mata kuliah maupun materi yang membudayakan mereka plong istilah-istilah yang dipakai dalam KBK 2004 maupun KTSP 2006. Ini tentu saja menjadi “PR” bagi LPTK bakal segera merekonstruksi kurikulum dan/maupun mata kuliah sehingga mampu beradaptasi dengan kebutuhan tanah lapang.

Sebagai bahan perolehan lakukan LPTK nan menyelenggarakan Pendidikan Bahasa Inggris, coretan ini akan mencoba mendeskripsikan gudi filosofi dan teoritis n domestik penyusunan KBK 2004 dan KTSP 2006 netra pelajaran Bahasa Inggris serta dampaknya terhadap guru, unggulan guru dan LPTK organisator PS Pendidikan Bahasa Inggris.

  1. DISKUSI

Persoalan utama yang dihadapi intern mata pelajaran Bahasa Inggris dengan penerapan KBK/KTSP yakni penyamaan keonaran tentang konsep kurikulum baru ini sehingga bisa mengimplementasikannya sesuai yang diamanatkan kerumahtanggaan kurikulum. Nan terjadi di lapangan momen ini adalah adanya persepsi yang bermacam ragam tentang konsep KBK/KTSP ain pelajaran Bahasa Inggris yang disebabkan maka dari itu banyak faktor penghambat. Dengan demikian diperlukan persuasi terus menerus dari semua pihak nan terlibat intern pengajaran Bahasa Inggris cak bagi memberikan klarifikasi terhadap kemungkinan-prospek adanya distorsi perebutan konsep serta terus melakukan pembenahan-pembenahan cak bagi mendukung penerapan kurikulum baru ini. Untuk harapan tersebut, babak ini akan memaparkan kembali mengenai beberapa konsep yang berkaitan dengan KBK/KTSP mata pelajaran Bahasa Inggris antara lain landasan filosofi dan guri teoritis dari KBK.

2.1 Landasan Filosofi KBK/KTSP Bahasa Inggris

Penyusunan Tolok Isi dalam mata pelajaran Bahasa Inggris di sekolah menengah di Indonesia tiba dari pandangan bahasa sebagai perlengkapan komunikasi atau seumpama sistem semiotik sosial yang dikembangkan oleh Haliday (1985). Pandangan ini lebih dikenal dengan nama Systemic Functional Linguistics (SFL). Menurut pandangan SFL, bahasa pada tingkat kerumahtanggaan terdiri atas 3 strata ialah semantik (makna), tatabahasa (bentuk) dan fonologi/grafologi (ekspresi). Sedangkan pada tingkat ekternal (ekstralinguistik), bahasa umpama semiotik sosial berhubungan intim dengan konteks peristiwa, konteks budaya dan konteks ideologi (Haliday, 1985, 1995). Penggunaan bahasa (pembangunan suatu wacana tulis/lisan), berlandaskan pandangan ini, dulu ditentukan makanya konteks budaya dan konteks peristiwa. Hubungan antara teks dan konteks dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Konteks Budaya dan Konteks Situasi (Deriwianka intern Morizon, 2004)

Diagram di atas menggambarkan tentang peran konteks dalam penciptaan dan penafsiran suatu bacaan. Internal konteks apapun, dalam menggunakan bahasa seseorang melakukan tiga fungsi (three meta functions), ialah: (a) Kepentingan gagasan (ideational function) – fungsi bahasa cak bagi mengemukakan alias mengkonstruksi gagasan atau informasi; (b) Fungsi interpersonal (interpersonal function) — kekuatan bahasa bikin berinteraksi dengan sesama manusia yang mengungkapkan tingkat ujar (speech act) yang dilakukan, sikap, perasaan, dan sebagainya; dan (c) Fungsi tekstual (textual function) — fungsi yang mengeset bagaimana teks ataupun bahasa yang diciptakan ditata sehingga tercapai kohesi dan koherensi untuk memudahkan sosok membaca/mendengarnya.

Dengan demikian, pengembangan programa pencekokan pendoktrinan bahasa Inggris siswa harus diarahkan pada kemampuan untuk kuak nuansa-nuansa makna ideasional, makna interpersonal dan makna tekstual.

Sebagai halnya terbantah dalam diagram di atas, eksploitasi bahasa privat model ini dipengaruhi oleh dua jenis konteks — konteks budaya dan konteks situasi. Konteks budaya melahirkan berbagai macam jenis teks (genre) seperti
narrative, descriptive, recount, report, anecdote, dll nan dikenal dan diterima makanya publik pengguna bahasa tersebut karena mempunyai susunan teks (generic structure) dan bahasa (grammatical features) jelas dan legal yang digunakan dapat merebeh tujuan komunikatif. Dengan lain kata, dalam pengutaraan tujuan komunikasi, masing-masing jenis referensi ini dikemas dalam
generic/schematic structure
dan
grammatical features
tertentu. Generic Structure (GS) dan Grammatical Features (GF) pustaka Procedure berbeda dengan GS dan GF teks Deskriptive.

Konteks situasi babaran
language register
(variasi bahasa), yaitu pemilihan bahasa yang dianggap sesuai dalam konteks tertentu. Pemilihan variasi bahasa ini ditentukan oleh tiga faktor, yaitu
field,
tenor
dan
mode.
Field
berkaitan dengan topik yang dibicarakan,
Tenor
berkaitan dengan mungkin nan terbabit dalam pembicaraan (participants) dan
Mode
berkaitan dengan jalur komunikasi yang digunakan apakah lisan atau terdaftar termuat menengah komunikasi apakah face-to-face maupun melampaui telefon.

Privat pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing, kedua konteks ini terdahulu diajarkan dalam rangka pencapaian penguasaan Bahasa Inggris nan sesuai dengan standar bagaimana pencerita sejati mendedahkan ide dalam konteks nan dihadapinya.

2.2 Landasan Teoritis KBK/KTSP Bahasa Inggris

Selain dok filosofi yang disebutkan di atas, KBK/KTSP sekali lagi bersendikan gudi teori yang terdiri dari model kompetensi komunikatif (Celce-Murcia, dkk., 1995) dan teori literasi dan penerapannya intern indoktrinasi bahasa (Kern, 2000 privat Depdiknas, 2004; Morizon, 2004).

2.2.1 Lengkap Kompetensi Komunikatif

Model kompetensi nan digunakan kerumahtanggaan KBK 2004/KTSP 2006 adalah model yang dimotivasi oleh pertimbangan pedagogi bahasa yang dikembangkan maka itu Canale dan Swain (Depdiknas, 2004). Salah satu sempurna nan terkini yang ada dalam indoktrinasi bahasa adalah pola yang dikemukakan oleh Celce-Murcia, Dorneyi dan Thurell (1995) nan sepaham dengan pandangan teoritis bahwa bahasa yaitu
komunikasi
bukan seperangkat aturan. Ini artinya penguberan bahasa diarahkan pada penyiapan siswa buat mampu menggunakan bahasa dalam konteks sehari-periode. Model ini bertambah dikenal dengan nama Communicative Competence maupun Kompetensi Komunikatif nan dijabarkan pada diagram berikut:

Gambar 2: Komunikatif Kompeten (Celce-Murcia, dkk., 1995)

Rajah di atas kelihatan bahwa yang menjadi sasaran intern indoktrinasi bahasa dalam model KK ini adalah
Discourse Competence
(Kompetensi Teks/ KW). Ini berarti ketika seseorang terlibat dalam komunikasi lisan maupun tulis maupun catat dia terlibat dalam suatu wacana. Wacana internal konteks ini didefinisikan sebagai sebuah keadaan komunikasi yang dipengaruhi oleh topik yang dikomunikasikan (field), hubungan interpersonal pihak yang terlibat dalam komunikasi (tenor) dan sagur yang digunakan dalam satu konteks budaya (mode) (Depdiknas, 2004: 6).  Makna apapun yang didengar maupun mau diciptakan selalu mengacu pada konteks budaya dan konteks kejadian yang sesuai.

Kompetensi Wacana ini akan dikuasai jika siswa punya kompetensi pendukung sebagai halnya
Linguistic Competence
(Kompetensi Linguistik),
Actional Competence
(Kompetensi Tindak Tutur/Retorika),
Sociocultural Competence
(Kompetensi Sosiokultural) dan
Strategic Competence
(Kompetensi Diplomatis). Untuk mengaktifkan Kompetensi Wacana, petatar harus berkujut secara aktif kerumahtanggaan Speaking, Reading, dan Writing. Keterlibatan ini akan memungkinkan siswa menggunakan seperangkat ketatanegaraan dan prosedur cak bagi merealisasikan nilai-nilai yang terdapat n domestik zarah-unsur bahasa, pengelolaan bahasa, isyarat-tanda-tanda pragmatiknya dalam memungkiri dan mengungkapkan makna (McCarthy dan Sewa dalam Depdiknas, 2004). Hal ini mengisyaratkan bahwa formulasi kompetensi dan indeks-indikatornya harus mengakomodasi komponen-onderdil tersebut di atas supaya pengajaran bahasa Inggris mengarah sreg pencapaian kompetensi utama merupakan Kompetensi Bacaan.

2.2.
2 Tingkat Literasi

Pelecok satu pertimbangan teoritis dan praktis dalam penerapan KBK/KTSP adalah tingkat literasi nan ditargetkan pada masing-masing jenjang pendidikan. Dengan pembukaan lain, cak semau tingkat literasi yang sudah ditetapkan yang menjadi skala prerogatif  pencapaian lega setiap tingkatan pendidikan. Depdiknas (2004) dengan meminjam pengkategorian berasal Wells (1987) menetapkan 4 tingkat lietrasi:
performative, functional, informational, dan
epi
st
emic. Puas tingkat
performative, siswa diharapkan mampu mengaji dan menulis, dan berucap dengan simbol-simbol nan digunakan. Pada tingkat
functional, siswa diharapkan mampu menunggangi bahasa bakal memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membaca bagian surat wara-wara yang diminati, membaca manual. Puas tingkat
informational, siswa diharapkan bisa mengakses pengetahuan dengan memanfaatkan kemampuan berbahasanya. Sementara itu pada tingkat
epi
stemic, siswa diharapkan boleh mentransformasi pengetahuan dengan menggunakan Bahasa Inggris.

Lega jenjang pendidikan SD, indoktrinasi Bahasa Inggris diarahkan pencapaian tingkat literasi
performative, SMP lega tingkat
functional
untuk tujuan komunikasi “survival”, SMA pada tingkat
informational
lakukan mempersiapkan diri timbrung ke perguruan hierarki. Pada tingkat pendidikan tinggi, pengajaran Bahasa Inggris diarahkan plong tingkat
epistemic
bakal dapat mentransformasikan siaran yang dimiliki dengan Bahasa Inggris.

Tulang beragangan 3: Tingkat Literasi (Wells internal Depdiknas, 2004)

Penerapan tingkat literasi pada masing-masing tangga pendidikan membawa dampak pada penyaringan jenis-jenis teks yang tingkat kesulitannya disesuaikan dengan tingkat literasi tersebut. Tercantum di dalamnya yakni penekanan pada ulah bahasa (lisan ataupun tulis) pada tiap jenjang pendidikan. Depdiknas (2004) telah mencoba merumuskan kontinum atau rentangan pendalaman pengajaran bahasa Inggris bersumber tahapan pendidikan SD – SMA yang berangkat bersumber pengajaran bahasa verbal kemudian semakin meningkat tingkatan pendidikan semakin raksasa porsi bahasa tulis. Rentangan tersebut bisa dilihat pada Gambar 4 berikut:

Bahasa Lisan

 

SD

1-3

 

SD

4-5

 

SMP

 

SMA

Bahasa Tulis

Gambar 4: Kontinum Bahasa Lisan-Bahasa Tulis dalam KBK 2004 (Depdiknas, 2004)

Dari rancangan tersebut jelas terlihat bahwa Kurikulum Bahasa Inggris mengepas mengadopsi “kurikulum alamiah” (istilah Cameron n domestik Depdiknas, 2004) dimana membiasakan bahasa berangkat bersumber bahasa yang menyertai tindakan (language accompanying action) bukan berangkat dari bahasa sebagai representasi fenomena yang tidak hadir di hadapannya (language as representation). Dalam belajar bahasa secara natural, membiasakan bahasa berangkat terbit belajar bahasa lisan dan bahasa tulis susah dikuasai seandainya bahasa verbal belum dikuasai. Semakin hierarki kelas maupun tingkat pendidikan semakin banyak pengenalan bahasa tulis. Dengan adanya dikotomi riset pengajaran ini, teradat pemikiran nan cermat tentang barang apa yang menjadi pemusatan pada tiap-tiap jenjang pendidikan ini untuk menghindari bertumpukan materi yang diajarkan.

2.2.3 Teaching-Learning Cycles (TLC) sebagai Konseptual Pembelajaran

Model pembelajaran yang disarankan dalam proses pembelajaran Bahasa Inggris baik dalam KBK 2004 maupun KTSP 2006 didasarkan pada prinsip-prinsip ekspansi literasi Bahasa Inggris yang dikembangkan maka dari itu Hammond, dkk. (1992). Model ini lebih dikenal dengan nama Teaching Learning Cycles (TLC). Awalan-awalan pembelajarannya menutupi (1)
Building Knowledge of the Field
(BKOF), (2)
Modelling of the Text
(MOT), (3)
Joint Construction of the Text
(JCOT), dan (4)
Independent Construction of the Text
(ICOT). Anju-langkah ini bisa diterapkan baik buat Siklus Verbal (Spoken) maupun Siklus Catat (Written Cycles). Seutuhnya catur langkah pendedahan tersebut dapat dilihat puas diagram berikut:

Bentuk 5: Siklus Penelaahan Bahasa Inggris (Hammond, dkk. (1992).

Gambar di atas menunjukkan kegiatan dan pelibatan komponen interaksi (hawa dan siswa) puas masing-masing langkah. Kegiatan BKOF bertujuan bikin mengasihkan brainstorming terhadap materi/topik yang akan dibahas. Kegiatan ini meliputi penggalian deklarasi awal yang dimiliki murid, pengenalan kosa pembukaan dan tatabahasa yang relevan, yang dilaksanakan secara interaktif antara guru dengan siswa, siswa dengan petatar sehingga ada penyesuaian menyimak dan berujar pada diri siswa untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Kegiatan MOT berujud lakukan memperkenalkan jenis teks tertentu. Suhu memberikan model interaksi atau teks dan bagaimana interaksi/referensi ini mencapai tujuan tertentu (keistimewaan bacaan). Lakukan mempermudah pemahaman peserta hawa memperkenalkan bagaimana
Generic Structures
dan
Grammatical Features
yang membangun pustaka nan sedang dibahas. Pada langkah ini, terjadi interaksi antara guru dengan murid (secara bani adam dan kelompok/kelas bawah). JCOT berujud untuk memberikan kesempatan kepada pesuluh untuk melatihkan pustaka yang dimodelkan secara pasuk dengan temannya. Dengan bekal pemahaman pada kegiatan BKOF dan MOT, murid diharapkan mampu berkaca dan memodifikasi model nan diberikan. Langkah lebih jauh — ICOT — bertujuan lakukan memasrahkan kesempatan kepada peserta bagi menghasilkan teks secara mandiri dan kesertamertaan. Kegiatan ini bisanya diawali dengan Siklus Verbal kemudian dilanjutkan dengan Siklus Tulis, sekadar ketika memasuki Siklus Tulis, dapat langsung mulai dengan MOT atau langsung JCOT kalau BKOF dan MOT-nya sama.

Mulai sejak paparan-paparan di atas boleh disimpulkan bahwa baik landasan filosofis alias landasan teoritis dari KBK 2004/KTSP 2006 mengarah lega penerapan
Hallidayan’s Systemic Functional Linguistics. Cak bertanya mendasar bikin LPTK Bahasa Inggris (FKIP UNRAM riuk satunya) yaitu sudahkah LPTK mengantisipasi perubahan-pertukaran yang terjadi di lapangan? Dengan pengenalan enggak, apakah dengan kurikulum yang cak semau sudah berbenda membekali mahasiswa calon guru dengan kemampuan-kemampuan yang dituntut di atas? Kalau ya, di penggalan mana konsep-konsep tersebut diberikan? Pertukaran besar yang terjadi di sekolah memaksudkan bertambah dari doang sisip-menyisipkan pada netra pidato tertentu, belaka harus jelas porsinya. Menurut pengamatan penulis, sampai pemulihan terakhir kurikulum Bahasa Inggris FKIP UNRAM, belum tertentang adanya perubahan ke arah pelampiasan kebutuhan lapangan dalam hal kenaikan kompetensi pedagogis atau profesionalnya.

2.3 Dampak Transisi pada Kurikulum LPTK Bahasa Inggris

Adopsi SFL dalam penyusunan Standar isi pada KBK 2004 dan KTSP 2006 merupakan “snow-ball effect” terhadap kurikulum di perguruan jenjang (Agustien, 2006). Pertanyaan mendasar nan harus dijawab maka dari itu institut penyelenggara PS Bahasa Inggris yakni, dengan kuatnya kekuasaan SFL intern kurikulum sekolah, bagaimana tingkat ketersediaan LPTK Bahasa Inggris? Sudahkah mahasiswa dibekali dengan landasan-limbung di atas? Apakah pembekalan tersebut melintasi hidayah mata pidato plonco maupun maujud sisipan sudah ada? Kalau berupa sisipan privat ain kuliah mana diberikan? Jika kurikulum LPTK Bahasa Inggris mendatangi sreg Kurikulum Berbasis Kompetensi, maka lembaga ini tidak bisa suntuk diam internal rencana pemenuhan kebutuhan pasar. Kebutuhan pasar sudah jelas bahwa untuk menjadi koteng guru bahasa Inggris seseorang dituntut untuk menguasai 4 kompetensi: kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi. Berkaitan dengan kompetensi pedagogis, mahasiswa harus dibekali dengan metodologi, strategi dan teknik indoktrinasi, serta kemampuan penilaian yang belaku di sekolah. Mahasiswa harus dibekali dengan kemampuan menggapil pembelajaran yang menerapkan 4 persiapan pembelajaran (BKOF, MOT, JCOT dan ICOT) sebagai pelecok suatu kemampuan pokok dimiliki seorang calon munsyi Inggris. Dalam penilaian, mahasiswa kembali harus dibekali dengan kemampuan menilai yang sebenarnya (authentic assessment). Bagaimana menumbuhkan penilaian unjuk kerja (performance test) dan
portfolio
disamping tes tulis sehingga penilaian bisa makin valid dan reliabel.

Kurikulum LPTK harus berorientasi pada pasar maupun privat konteks ini merupakan sekolah. Dengan kekuasaan revolusi SFL dan kekuasaan lainnya kerumahtanggaan Tolok Isi Bahasa Inggris di sekolah, perguruan janjang juga harus membekali lulusannya dengan konsep-konsep diseminasi tersebut. Begitu juga ditanyakan di atas, seberapa banyak isu-isu bau kencur di lapangan terakomodasi dalam mata kuliah seperti Curriculum & Material Development (CMD), Teaching English as a Foreign Language (TEFL), Micro Teaching, Language Testing atau mata ceramah PBM lainnya dan mata kuliah peningkatan kompetensi profesional seperti Syntax, Grammar, Writing, Discourse Analysis, dll. sehingga lulusan yang dihasilkan mampu mengantisipasi pasar (sekolah)? Programa studi harus lekas melakukan pemetaan terhadap mata kuliah-mata kuliah terkait alias sama dengan yang dilakukan makanya LPTK tidak (begitu juga Jamiah Negeri Semarang) nan berani menganjurkan 8-10 sks mata kuliah yang tersapu dengan kronologi baru di lapangan (Agustien, 2006).

Kejadian ini menjadi keharusan bagi penyelenggara Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris bakal berbuat rekonstruksi ke arah itu. Permasalahan ini bukan permasalahan mau-tidak mau atau tertarik-tidak tertarik akan aliran tertentu internal pembelajaran, tapi penerimaan kenyataan akan tuntutan pelan. Bagi LPTK, tidak ada pilihan lain dalam konteks ini kecuali mengakomodasi tuntutan pasar. Dosen dan Kurikulum LPTK harus berbenah bakal membekali mahasiswa dengan kompetensi nan dibutuhkan lapangan sehingga n kepunyaan daya gigi anjing di pasar kerja.

  1. PENUTUP

Tersapu dengan pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah, pertukaran paradigma meriah terjadi bukan berpunca KBK 2004 ke KTSP 2006, tetapi berbunga Kurikulum 1994 ke KBK 2004 karena perbedaan landasan filosofis dan teoritis yang mendasari. Pengaruh
Systemic Functional Linguistics
(SFL) yang dicetuskan makanya Michael Halliday. Aliran ini memandang pemilihan bahasa bakal hingga ke tujuan tertentu terlampau ditentukan maka dari itu konteks ideologi, budaya, dan keadaan. Privat perancangan penerimaan, pendekatan yang digunakan adalah komplet Kompetensi Komunikatif (KK) yang dikembangkan oleh Celce-Murcia, dkk. (1995) dan Teori Literasi yang dikembangkan oleh Kern (2000 dalam Morizon, 2004).

Begitu banyak telah terjadi perubahan internal penerimaan Bahasa Inggris di tingkat sekolah. Bagaimana dengan LPTK Bahasa Inggris seumpama “mesin cetak” linguis Inggris menghadapi perubahan ini. Seberapa raksasa telah terjadi transisi di LPTK Bahasa Inggris dalam pemenuhan pasar. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab secara kerumahtanggaan dengan berbuat refleksi diri dari segi alat pengajian pengkajian (kurikulum, Silabus, SAP), dosen sebagai agen penataran, dan kontrol terhadap implementasi intern perkuliahan.

Pustaka

Agustien, Helena I. R., 2006.  Systemic Functional Linguistics in the National English Curriculum,
Makalah disampaikan dalam Seminar dan Pembentukan Forum Sistemik Fungsional Ilmu bahasa Indonesia UNJ
Jakarta tanggal 9 – 10 November 2006.

Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.), 2004.
The Tapestry of English Language Teaching and Learning in Indon
esia. Malang: State University of Malang Press.

Celce-Murcia, M, Z. Dornyei, dan S. Thurrell. “Communicative Competence: A Pedagogically Motivated Ideal with Content Specifications”, in
Issues in Applied Linguistics, 6/2 pp. 5-35

Depdiknas, 2004.
Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris

SMP/MTs. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

 Haliday, Michael, 1985/1994.
Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold.

Huda, Nuril, 1999.
Language Learning and Teaching: Issues and Trends. Malang: Sekolah tinggi Kawasan Malang.

Kismadi, Gloria C., 2004. “Start Them Early: Teaching English to Young earners in Indonesia”, dalam Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.).
The Tapestry of English Language Teaching and Learning in Indon
esia. Malang: State University of Malang Press. Pp. 253 – 264.

Mirizon, Soni, 2004. “Some Aspects of English Competency Based Curriculum”,
Forum Kependidikan. FKIP Perhimpunan Sriwijaya, Vol. 24, No.1, pp. 67-86

Priyono, 2004. “Logical Problems of Teaching English as a Foreign Language in Indonesia”, dalam Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.).
The Tapestry of English Language Teaching and Learning in Indon
esia. Malang: State University of Malang Press. Pp. 17-28.

Santosa, Riyadi, 2006. Pilihan Tulangtulangan dan Makna Hubungan Konjugatif dan Pengaruhnya terhadap Kecondongan Bahasa,
Makalah disampaikan dalam Seminar dan Pembentukan Forum Sistemik Fungsional Linguistik Indonesia UNJ Jakarta
tanggal 9 – 10 November 2006.


Source: https://imadesujana.wordpress.com/2016/09/05/landasan-filosofi-dan-teoritis-standar-isi-bahasa-inggris-dalam-ktsp-dan-tantangan-kurikulum-lptk-bahasa-inggris-oleh-i-made-sujana-hj-tri-nuryanti-luh-sri-narasintawati-pbs-fkip-univers/