Variasi Bahasa Inggris Mana Yang Harus Diajarkan Di Sekolah
I Made Sujana & Luh Sri Narasintawati (UNRAM, SMPN 14 Mataram Cabai)
Please Quote as:
Sujana, I Made & Narasintawati, Luh Sri. 2006. Bahasa Inggris buat Sekolah Pangkal: Mau Ke Mana?,
Jurnal Dinamika Pendidikan Ii kabupaten Mataram. Edisi Mei 2006.
Khayali
. Sparing bahasa Inggris pada atma anak-anak memiliki nama baik secara biologis maupun secara psikologis. Berangkat dari jenama tersebut, pemerintah Indonesia melangkahi Kurikulum Pendidikan Pangkal 1994 menetapkan bahasa Inggris sebagai bahara lokal yang mulai diajarkan di kelas 4 sekolah pangkal. Dalam hampir 10 tahun pelaksanaannya, pengajaran bahasa Inggris masih banyak menyisakan permasalahan yang memerlukan penanganan yang lebih betul-betul. Catatan ini membahas tentang cap akan halnya indoktrinasi bahasa Inggris lega hidup anak asuh-anak dan berbagai ragam kendala yang dihadapi dalam pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar.
Kata-kata kunci
: masa perseptif, faktor jiwa, belajar bahasa, usia anak-anak, MULOK bahasa Inggris
Abstract
. Learning English in early ages has advantages from both biological and psychological point of view. Based on those advantages, Indonesian government through 1994’s Primary School Curriculum has introduced English as “local content”, starting from grade four at primary school. In ten years of its application, English in primary school still has a number of problems that need solutions. This article discusses the advantages of teaching English at early ages and possible problems in its application at primary schools.
Keywords
: critical period, age factor, learning a language, early age, local content.
- PENDAHULUAN
Kemusykilan pencekokan pendoktrinan bahasa Inggris di Indonesia mutakadim membuat para pengambil kebijakan bakal selalu mengadakan perubahan. Riuk suatu perubahan yang dilakukan adalah dengan berangkat memopulerkan bahasa Inggris pada usia lebih sediakala merupakan mulai kelas 4 Sekolah Sumber akar, biarpun masih sampai kewajiban lokal intern Kurikulum Pendidikan Dasar 1994. Harapan utama pengenalan bahasa Inggris pada vitalitas lebih awal antara lain untuk mengedit kualitas output dan rahmat input lebih banyak (Huda, 1999; Sutarsyah 2004). Asal pemikiran yang mendasari perubahan ini adalah bahwa berlatih bahasa sreg anak asuh memiliki beberapa cap. Faktor jiwa mulai belajar bahasa (age of onset/AO) merupakan keseleo satu faktor penentu keberhasilan berlatih bahasa. Belajar bahasa akan memperoleh kesempurnaan takdirnya berangkat pada usia sebelum pubertas karena pada vitalitas ini secara biologis biang keladi n kepunyaan tingkat elastisitas nan strata yang memungkinkan seseorang belajar bahasa lebih cepat (Lennerberg kerumahtanggaan Sujana, 2001; Khrasen privat Sutarsyah, 2004). Disamping itu sparing bahasa pada waktu anak-anak akan lebih berhasil karena secara psikologis anak asuh-anak terbebas berpangkal rasa malu dan rasa ngeri salah seperti nan dialami pembelajar bahasa dewasa.
Nampaknya berangkat dari cap ini Pemerintah Indonesia melalui Kurikulum Pendidikan Sumber akar 1994 start memperkenalkan bahasa Inggris pada usia lebih dini adalah mulai kelas IV Sekolah Pangkal (pada semangat 10 tahun). Walaupun sebagai beban tempatan, sekolah dan para orang tua sangat antusias menyandang ide pemberian bahasa Inggris lebih awal. Ini terbukti dengan banyaknya SD yang mulai mengasihkan bahasa Inggris perumpamaan muatan domestik (lihat Kismadi, 2004; Luciana, 2004, Sutarsyah, 2004) walaupun internal pelaksanaanya sekolah banyak menghadapi kendala seperti kesiapan silabus, materi, guru, metode indoktrinasi dan tak-lain.
Semata-mata yang perlu disadari oleh perakit kebijakan dan praktisi di lapangan adalah bahwa belajar bahasa kedua secara natural (masukan) berbeda dengan belajar bahasa secara sah (learning) dalam banyak hal. Kesempurnaan berbahasa relatif lebih mudah dicapai internal konteks informal (natural) karena banyaknya aspek simpatisan begitu juga setting, modelling, kesempatan menunggangi bahasa, serta kerinduan untuk menyampaikan satu pesan (kebutuhan kerjakan berkomunikasi). Dengan kata lain, keunggulan nan disebutkan di atas tidak akan banyak menyerahkan kontribusi kalau program pencekokan pendoktrinan enggak dirancang secara cermat. Internal hal ini, faktor hawa, materi, fasilitas, setting sparing terlampau dolan dalam pencapaian kesempurnaan berbahasa dan harus disesuaikan dengan karakteristik pembelajaran sreg semangat anak-anak. Kesalahan penuturan kata, misalnya, akan berkarisma osean terhadap perkembangan beristiadat anak dan kesalahannya cenderung menfosil (fossilized) sehingga pelik dirubah pada level berikutnya.
Berangkat berpangkal opini di atas, garitan ini akan mencoba memaparkan mengenai faktor usia dalam belajar bahasa (kedua/luar) dari sudut psikolinguistik dan tentang permasalahan yang kali muncul internal pelaksanaan pencekokan pendoktrinan bahasa Inggris di Sekolah Sumber akar di Mataram khususnya.
B. PEMBAHASAN
-
FAKTOR Spirit N domestik Berlatih BAHASA
Bahwa ada masa kritis (critical period) membiasakan bahasa yang diluncurkan oleh Lenneberg musim 1967 (Sujana, 2001) mutakadim memprovokasi para ahli baik di bidang pengajaran bahasa, ilmu jiwa, maupun ilmu hayat/kedokteran bikin mengadakan eksperimen untuk membuktikan keberadaan faktor usia dalam belajar bahasa. Menurut Lenneberg, kapasitas membiasakan bahasa pertama akan hilang kalau tidak diaktifkan atau dilatih sreg masa kritis (critical period) yang berkisar antara semangat 2 setakat 13 periode. Hipotesa ini kemudian berkembang menjadi dua pertahanan/versi yaitu distribusi “keras” dan rotasi “lemah”. Penganut revolusi persisten meyakini bahwa belajar bahasa harus dimulai sebelum pubertas kalau enggak seseorang enggak akan pernah mengamankan bahasa. Pengikut aliran lemah berpendapat bahwa belajar bahasa setelah adolesens masih mungkin tapi agak sulit dan tidak dapat mencapai kesempurnaan (Curtiss dalam Long, 1990).
Alasan yang disampaikan Lenneberg internal membantu hipotesanya antara enggak (i) lateralisasi bahasa terjadi pada hidup masa remaja dan otak sebelah kidal enggak lagi dapat menguasai bahasa setelah pubertas; dan (ii) orang yang mengalami gangguan otak pada usia sebelum masa remaja masih dapat mengatasi bahasa mula-mula secara sempurna sedangkan individu mengalami gangguan otak pada usia dewasa musykil memintasi bahasa pertama seperti penutur ikhlas. Akan tetapi, ide lateralisasi yang terjadi sebelum pubertas ditentang oleh banyak ahli. Krashen (kerumahtanggaan Singleton, 1989), misalnya, dengan menganalisis data nan selaras yang digunakan Lenneberg menyimpulkan bahwa lateralisasi bahasa terjadi pada vitalitas sebelum lima tahun tidak sebelum pubertas. Sejak itu, para ahli mencoba mengadakan eksperimen buat membuktikan adanya faktor usia dalam belajar bahasa dengan menyertakan bineka responden (anak-anak, dewasa, penjamin apasia, dan enggak-bukan). Terbit eksperimen-eksperimen tersebut terserah yang mendukung (misalnya Johnson & Newport, 1989, Johnson & Newport, 1991, Curtiss, 1971, Oyama, 1978, Patkowski, 1980 privat Sujana, 2001) dan ada nan menolak (misalnya Snow & Hoefnagel Hohle, 1978, Ellis, 1985, Fledge, 1987, Genesee, 1988, Neufeld, 1979 dalam Sujana, 2001) akan halnya periode kritis membiasakan bahasa.
Akan tetapi mulai sejak amatan ulang yang dilakukan Long (1990) terhadap hasil eksperimen yang rangkaian dilakukan para ahli, ditemukan bahwa para juru sejadi akan adanya faktor usia intern belajar bahasa namun tidak seekstrim hipotesa Lenneberg. Seseorang bisa sparing bahasa pron bila doang, akan tetapi tingkat kesempurnaan penguasaan suntuk dipengaruhi oleh usia sparing bahasa (age of onset/AO). Dalam konteks sparing bahasa kedua/asing, tingkat kesempurnaan akan bisa tercapai (mendekati penutur nirmala) jikalau belajarnya dimulai sebelum masa pubertas (sebelum semangat 13 perian). Sehingga, istilah “
the younger, the better
” (Long, 1990) banyak dipakai dalam konteks pembelajaran bahasa kedua/asing lakukan menunjukkan bahwa seandainya kepingin mencapai kesempurnaan dalam belajar bahasa maka kita harus mulai pada kehidupan sebelum masa pubertas. Sebagai pengganti istilah “
critical period
”, para ahli kian senang menggunakan
sensitive period hypothesis
. Belajar bahasa masih mungkin pada usia dewasa, akan tetapi semakin jompo belajar bahasa semakin menyusut tingkat elastisitasnya, sehingga pencapaiannya bukan boleh sempurna.
Terbit sudut teori psikolinguistik dan ilmu jiwa, pembelajar bahasa plong umur anak asuh-momongan memiliki bilang keunggulan n domestik berlatih bahasa antara tidak:
- Menurut Chomsky (dalam Sutarsyah, 2004), setiap anak memiliki piranti belajar bahasa nan disebut “Language Acquisition Device” (LAD). Piranti ini memungkinkan setiap anak asuh (sejak lahir sampai terka-duga usia 11 tahun) membereskan bahasa apa hanya. LAD ini memberikan anak sarana bakal menempa ungkapan nan didengar intern lingkungannya sehingga mereka bisa mengkonstruksi sistem nan mendasari ungkapan tersebut. Menurut teori ini bukan ada perbedaan antara berlatih bahasa pertama dan kedua;
- Dalam cricital (sensitive) period hypothesis, secara biologis pelopor sebelum perian masa remaja punya tingkat elastisitas nan memungkinkan seseorang untuk belajar bahasa lebih cepat dan makin mudah. Elastisitas ini akan berkurang sejalan dengan perkembangan arwah (Lenneberg dalam Sujana, 2001; Krashen intern Sutarsyah, 2004);
- Secara serebral, pembelajar usia momongan-anak memiliki bilang tanda dalam belajar bahasa. Pembelajar anak secara natural punya rasa ingin adv pernah nan tinggi, memiliki partisipasi aktif, spontanitas dan luwes, lain malu dan tidak takut membuat kesalahan (George dalam Sutarsyah, 2004).
Dengan demikian pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa luar pada usia dini yaitu anju yang tepat. Dengan dimulainya anugerah bahasa Inggris mulai bermula kelas 4 Sekolah Dasar (vitalitas 10 tahun) akan menambah input pencekokan pendoktrinan bahasa Inggris disamping, kalau dilaksanakan dengan tepat, akan membantu pencaplokan bahasa Inggris secara sempurna.
Sebagai halnya disebutkan di atas, membiasakan bahasa kedua dalam konteks lumrah farik dengan belajar bahasa privat konteks natural dimana dalam belajar bahasa secara natural peran lingkungan sangat membantu. Sehubungan dengan pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar di Indonesia tingkat keberhasilan belajar bahasa akan sangat bergantung pada perencanaan pencekokan pendoktrinan (silabus, materi) dan implementasi di lapangan begitu juga kemampuan guru berinteraksi di kelas, fasilitas, setting kelas. Kendala yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaan bahasa Inggris di sekolah dasar bisa semenjak mulai sejak: harapan pembelajaran, materi, setting kelas, temperatur, metode.
-
KENDALA PENGAJARAN BAHASA INGGRIS DI SEKOLAH DASAR DI Daerah tingkat MATARAM
Berdasarkan uraian di atas pengajaran bahasa Inggris mulai dari sekolah asal (sebelum masa pubertas) memiliki bilang keuntungan antara lain memperbanyak input dan meningkatkan kualitas penguasaan bahasa Inggris. Akan saja implementasi di alun-alun menimbulkan berbagai persoalan sebagaimana penetapan pamrih pengajaran, materi yang seharusnya diberikan, tingkat kesiapan guru, akomodasi sparing, dan lain-lain.
Dengan status laksana tanggung lokal, bahasa Inggris di sekolah radiks mendapat habuan perlakuan yang sangat berlainan dengan bahasa Inggris di SMP/SMA. Bagaikan netra latihan perlu, bahasa Inggris di SMP/SMU memiliki panduan yang jelas mulai bersumber formulasi tujuan pembelajaran, materi/pokok bahasan, pendekatan yang digunakan, serta alat evaluasi yang baku secara nasional (dalam Tentamen Nasional). Tenaga pengajar pun memiliki kualifikasi bak guru bahasa Inggris dan secara intensif mendapat kesempatan bakal berbantahan intern satu wadah baik berupa penataran alias urun pendapat (lewat MGMP) alias kegiatan pengembangan profesionalisme lainnya. Pelatihan peluasan profesi temperatur bahasa Inggris SD dulu jarang dilakukan.
Di Kota Mataram pengajaran bahasa Inggris di SD mendapat sambutan positif mulai sejak semua pihak (ayah bunda, sekolah, Maktab Pendidikan Daerah tingkat). Ini terlihat dari diberikannya bahasa Inggris di hampir semua sekolah dasar di Kota Mataram. Sebagai bagasi lokal, sekolah memiliki kewenangan buat menentukan kapan bahasa Inggris diberikan, apa materi nan digunakan, siapa yang akan mengajarkan. Sejumlah sekolah tiba memberikan bahasa Inggris di kelas IV, lebih-lebih beberapa sekolah mengajarakannya berangkat dari kelas I. Kualifikasi pengajar pun silam bervariasi dari guru inferior, mahasiswa, dan sarjana bahasa Inggris.
Mengamati pelaksanaan pencekokan pendoktrinan bahasa Inggris di sekolah sumber akar, di Kota Mataram khususnya, diperlukan adanya perubahan yang sangat mendasar. Pihak nan terkait perlu duduk bersama untuk mencari solusi nan terbaik dalam programa pengajaran bahasa Inggris di sekolah sumber akar sehingga program ini dapat melanglang sesuai yang diharapkan yaitu dapat meningkatkan kualitas ouput. Jikalau tidak, indoktrinasi bahasa Inggris di SD justru akan memperparah kegagalan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.
Beberapa kejadian yang teradat direnungkan kontan oleh pembuat kebijakan dan pegiat pengajaran bahasa Inggris antara tidak: harapan yang cak hendak dicapai dalam programa pengajaran bahasa Inggris ini, materi ajar, metode pengajaran, guru, media pembelajaran dan masalah-ki aib lain yang berkaitan dengan pengajaran bahasa Inggris di SD. Berikut ini diuraikan beberapa kendala yang muncul dalam pengajaran bahasa Inggris untuk sekolah pangkal.
-
Tujuan Pembelajaran
. Dengan pamor sebagai muatan lokal, dimana ide alat penglihatan cak bimbingan muatan lokal ialah bagi memenuhi kebutuhan lokal suatu masyarakat, apa nan ingin dicapai internal ain tutorial bahasa Inggris? Apakah untuk menyempurnakan kebutuhan dalam bidang kepariwisataan, untuk meneruskan studi atau punya tujuan yang tidak? Kalau harapan diarahkan untuk melanjutkan pendalaman maka intensi ini harus searah dengan tujuan pengajaran puas jenjang berikutnya (SMP) yaitu buat meningkatkan kemampuan keempat ketangkasan berpendidikan. Kalau tujuannya bakal menyempurnakan kebutuhan lokal, dimana NTB menjadi keseleo suatu harapan wisata, maka intensi dan materi pembelajaran diarahkan pada alas kata kosa kata dan idiom berkaitan dengan kepariwisataan. Nampaknya ini terlalu dini. Atau, kalau intensi yang ingin dicapai adalah bagi penyempurnaan penguasaan bahasa Inggris dengan memberikan netra pelajaran ini sebelum masa pubertas, maka perlu dipikirkan pengajaran yang mampu mengarahkan siswa hingga ke keutuhan pendayagunaan bahasa Inggris seperti ketepatan pelafalan, elemen suprasegmental dan tidak-lain. Tujuan penataran ini akan dengan mudah diformulasikan kalau ada kejelasan prestise mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, terutama dengan label muatan lokal ini. Nampaknya penerjemahan “kewajiban domestik” dalam konteks ini umpama semacam otonomi sekolah untuk memberikan pelajaran bahasa Inggris sebagai indra penglihatan tuntunan pilihan di sekolah tergantung pada kesiapan sekolah.
Intensi paser panjang belajar bahasa Inggris ialah supaya siswa boleh bertutur dalam bahasa Inggris dengan penuh berkeyakinan diri, benar dan lampias. Tetapi dalam pengajaran bahasa Inggris untuk anak asuh-anak lain teradat dipaksakan cak bagi mencapai target tersebut karena untuk memenuhi tujuan tersebut mereka n kepunyaan paling sedikit 6 – 10 tahun lakukan sparing. Internal perancangan pembelajaran, teradat dipertimbangkan nisbah prioritas tujuan yang disesuaikan dengan arwah dan pola berlatih mereka. Dan nan bukan kalah pentingnya adalah peninjauan kembali intensi-harapan penataran nan lebih tataran.
Internal penyusunan Kurikulum 2004, Depdiknas (2004) mutakadim menetapkan tingkat “oracy dan literacy” (kewicaraan dan keaksaraan) yang ditargetkan sreg setiap jenjang pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan panjang, yaitu (i) performative (mampu mendaras, menulis, dan berbicara dengan bunyi bahasa-simbol yang digunakan dan berkomunikasi n domestik konteks nan abnormal; (ii) functional (mampu menggunakan bahasa cak bagi kebutuhan sehari-hari (survival) sebagaimana membaca harian, membaca manual dll.; (iii) informational (siswa diharapkan kreatif mengakses informasi nan ditulis dalam bahasa Inggris; dan (iv) epitesmic (pembelajar diharapkan bernas mentransformasi pengetahuan dalam bahasa yang dipelajari) (Wells kerumahtanggaan Depdiknas, 2004). Dengan demikian, hawa atau pembuat kebijakan kurikulum semoga mempedomani tingkat kewicaraan dan keaksaraan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, pengajaran bahasa Inggris di SD perlu diarahkan pada pengembangan komunikasi verbal kerjakan intensi interaksi papan bawah dan kegiatan sekolah dan sekitarnya (here and now). Bahasa tulis perlahan-lahan sedikit diperkenalkan dan itupun dalam konteks pengembangan bahasa lisan.
-
Materi
. Materi bisa menimbulkan ki aib yang paling sentral dengan diberlakukannya Bahasa Inggris di sekolah sumber akar. Soal nan mendasar yang harus dijawab ialah karena ini input bahasa Inggris pertama apakah materinya akan begitu juga bahasa Inggris di SMP masa ini? Kalau sama, maka persoalan nan akan muncul sreg pengajaran pada jenjang pendidikan berikutnya (di SMP), dimana akan terjadi kelas yang siswanya sudah lalu bisa pelajaran bahasa Inggris dan yang belum (karena prestise bahasa Inggris di SD laksana pilihan). Permasalahan ini akan mengakibatkan kejenuhan lega siswa yang sudah pernah belajar bahasa Inggris. Jikalau akan dipilih materi yang berbeda, apakah perbedaannya mencantol level, skill yang ditekankan alias tema-tema yang disajikan? Ini harus ada keselarasan antara materi bahasa Inggris SD dengan materi SMP.
Yang wajib menjadi pikiran juga adalah penekanan ketrampilan dan aspek berbahasa yang ingin dikembangkan. Depdiknas (2004) mengepas membuat kontinum atau rentangan pengajaran bahasa Inggris dari jenjang pendidikan SD – SMA yang start dari bahasa lisan dan semakin meningkat ke bahasa tulis. Rentangan tersebut digambarkan misal berikut:
Tabel: kontinum penekanan pengajaran bahasa Inggris berlandaskan pangkat pendidikan
Bahasa Lisan
SD Kelas 1 – 3 |
SD Kelas 4 – 6 |
SMP |
SMA |
Bahasa Tulis
Depdiknas (2004)
Dari kontinum tersebut tergambar bahwapengajaran bahasa Inggris di SD seharusnya didominasi maka dari itu pengajaran bahasa lisan dan semakin menyusut satu bahasa dengan tataran pendidikan. Bahasa Inggris di SD lebih adalah bahasa bakal menyertai tindakan (language accompanying action) atau bahasa nan bersifat “here and now”.
-
Guru
. Boleh jadi yang akan mengajarkan bahasa Inggris, guru kelas bawah atau guru mata pelajaran? Kalau temperatur kelas bawah yang terlibat, maka diperlukan training yang layak lama bikin boleh menguasai bahasa Inggris sekaligus mengajarkannya. Tingkat penguasaan guru pada latar yang diajarkan akan berakibat fatal pada kemampuan siswa, terutama yang menyangkut pronunciation, karena ada kecendrungan kesalahan yang dibuat akan memfosil dan sukar diubah. Kalau diajarkan maka dari itu ahli bahasa Inggris, maka terbiasa penambahan anggaran untuk perekrutan atau sewa. Disamping faktor biaya, hal tidak yang perlu diperhatikan adalah tingkat kesiapan alumni LPTK Bahasa Inggris mengajarkan bahasa Inggris untuk anak-momongan. Banyak nan berasumsi bahwa mengajar di SD (English for Children) enggak jarang karena materinya sangat pangkal. Semata-mata, tanggal berasal tingkat kesulitan materi, mengajar bahasa Inggris di SD berbeda dengan mengajar di sekolah lanjutan. Keburukan ini berbarengan menjadi tiang penghidupan rumah (PR) bagi LPTK dengan mempertimbangkan apakah pencekokan pendoktrinan bahasa Inggris untuk anak asuh-anak asuh ini perlu menjadi bagian mulai sejak kurikulum. Kalau bukan, di netra syarah apa akan disisipkan akan halnya indoktrinasi ini? LPTK Bahasa Inggris Jamiah Lampung, misalnya, mutakadim mengantisipasi masalah ini dengan memasukkan mata orasi “English for Young Learners (EYL)” dalam kurikulumnya (lihat Sutarsyah, 2004).
Masalah hawa ini bisa juga diatasi dengan mengikutsertakan guru-ahli bahasa Inggris di SMP. Hal ini memungkinkan karena SD dan SMP kaya pada satu payung sub-dinas (subdin). Kasubdin dapat menciptakan menjadikan kebijakan dengan menugaskan guru bahasa Inggris SMP bagi membantu minimal sekali seminggu di SD. Pembiayaan atas kegiatan ini boleh dibebankan puas Komite Sekolah maupun sumber dana lainnya.
Masalah guru enggak terhenti pada perekrutan saja, hanya juga teristiadat dipikirkan tentang pengembangan profesi melalui pelatihan-pelatihan sebagaimana diberikan kepada master-hawa SMP dan SMA. Momen ini karena status indra penglihatan pelajarannya sebagai muatan domestik dan kebanyakan gurunya yakni guru honor, guru-guru bahasa Inggris SD tertawan termarjinalkan.
-
Metode Pengajaran
. Belajar pada usia momongan harus memperalat pendekatan yang farik dengan pencekokan pendoktrinan orang dewasa. Pembelajaran bahasa Inggris pada anak asuh-anak harus mempertimbangkan karakteristik pembelajar anak-anak asuh. Berlatih sambil bermain akan mempercepat penaklukan bahasa. Sehingga dalam pengajarannya diperlukan variasi kegiatan dan sumber belajar sebagaimana melangkaui lagu-lagu, permainan, cerita, dan lain-lain. Menurut Vale (1995), momongan-anak dalam belajar (apa semata-mata) membutuhkan cambuk, interest, sukses, rasa doyan, rasa kerukunan, kepercayaan diri, persahabatan, mempelajari sesuatu yang baru. Intern pengajarannya suhu kiranya mengakomodasi kebutuhan tersebut sehingga pembelajaran dapat menyenangkan dan berbuah.
Berangkat dari karakteristik pembelajar umur anak-anak asuh, teristiadat diusahakan program pencekokan pendoktrinan yang berbeda dari pengajaran di tingkat yang makin atas (SMP/SMA). Suasana bermain serampak belajar perlu ditonjolkan biar suasana kelas menyenangkan dan terbebas terbit rasa takut. Dengan rasa doyan peserta akan termotivasi lakukan berlatih. Menurut Vale (1995) hal-hal nan perlu diprioritaskan pada awal-awal pembelajaran bahasa Inggris antara lain:
- Membangun rasa percaya diri.
- Cangkok pada diri anak bahwa membiasakan bahasa Inggris sangat menyenangkan.
- Memotivasi dan menumbuhkan minat belajar bahasa Inggris.
- Membangun ikatan yang baik dengan dagi sehingga akan tercipta suasana membiasakan yang kondusif.
- Menyorong siswa untuk ekspresif, yaitu nekat mengungkapkan diri dengan keterbatasan bahasa nan dimiliki (dengan perkakas tolong, mimik, gerak, gambar, introduksi kunci dan tak-lain).
Guru buruk perut dituntut untuk mengamalkan terobosan pengajaran sehingga pembelajaran bisa melanglang dalam kondisi nan kondusif dan menyenangkan sehingga bahasa Inggris tidak pula sebagai “momok” bagi siswa. Guru harus berpunya menciptakan permainan-permainan yang mampu membuat siswa senang n domestik belajar dan memperoleh sesuatu berpokok permainan tersebut. Kreativitas ini bisa dibangun dengan secara intens melakukan diskusi-urun pendapat dengan temperatur sejawat
-
Media Indoktrinasi dan Fasilitas Penunjang
. Perbedaan pola pembelajaran bahasa pada umur anak-momongan dengan orang dewasa akan mengirimkan dampak sreg program pengajaran termasuk pemanfaatan wahana pengajaran. Pembelajar anak-anak memerlukan perkakas peraga karena mempunyai tingkat abstraksi yang tekor. Indoktrinasi bahasa Inggris momongan-anak memerlukan banyak rancangan, permainan, realia, tape recorder, video (VCD/DVD) dan gawai bantu lainnya. Penggunaan materi nan telalu tekstual akan mengurangi anak kunci tarik dan siswa cenderung cacat termotivasi. Dalam peristiwa ini, dituntut kreativitas guru buat menciptakan media penunjang pengajaran nan bisa terjangkau seperti realia, lembaga, dll. Sekolah dengan fasilitas memadai tentu saja bisa memanfaatkan teknologi pengajaran bahasa yang lebih canggih seperti pemanfaatan laboratorium, VCD/DVD, multimedia, dan sarana lainnya.
Memahfuzkan banyaknya potensi masalah nan mungkin muncul kerumahtanggaan pengajaran bahasa Inggris di SD baik dalam perencanaan atau implementasinya, diperlukan adanya dukungan pecah semua pihak (pembentuk garis haluan, kepala sekolah, komite sekolah, instansi terkait) untuk merefleksikan solusi sesuai dengan porsi masing-masing.
Kerumahtanggaan rangka memajukan dan menggiatkan penerimaan Bahasa Inggris di Daerah tingkat Mataram terutama sreg jenjang Pendidikan Dasar, Jawatan Pendidikan Daerah tingkat bekerjasama dengan PT Newmont Nusa Tenggata dan Lombok TV mengadakan “English Quiz Contest”. Acara tersebut merupakan ajang bikin mengasah kemampuan anak (SD dan SMP) intern aneksasi bidang ilmu nan dikemas dalam bahasa Inggris. Tujuan utama acara tersebut merupakan mendahulukan pemanfaatan bahasa Inggris serta membudayakan kepada pesuluh bahwa berlatih bahasa Inggris itu menyurutkan. Selain itu, acara sebagai halnya Speech Contest dan English Debate telah menjadi agenda banyak instansi di Mataram dan NTB. Acara-programa semacam ini punya dampak nan dahulu samudra pada motivasi anak bakal belajar bahasa Inggris. Tentu saja kegiatan ini harus diimbangi dengan pembenahan proses sparing mengajar di kelas beserta piranti pengajarannya.
C. Pengunci
Pengajaran bahasa Inggris di SD punya keunggulan baik secara biologis maupun secara psikologis. Akan tetapi keunggulan ini enggak akan telalu bermakna takdirnya pelaksanaannya lain dirancang secara tepat. Kekurangtepatan program pengajaran terlebih akan memperparah kegagalan indoktrinasi bahasa Inggris di Indonesia.
Program pengajaran bahasa Inggris di SD ini bisa berhasil dengan baik kalau cak semau niat dan keseriusan serta kerjasama semua pihak yang terlibat dalam politik di SD. Para pengambil kebijakan dan praktisi di pelan mesti duduk bersama untuk secara serius menggosipkan mengenai kebijakan pengajaran bahasa Inggris di SD sehingga tidak bepergian sendiri-sendiri seperti sekarang ini. Muatan lokal kali menjadi ketatanegaraan sekolah belaka harus ada rambu-rambu yang jelas adapun program indoktrinasi bahasa Inggris (tidak pada apa maunya sekolah). Pengajaran di kelas I SD, misalnya, teristiadat dipertimbangkan dari teladan pengajarannya. Jangan dibebankan siswa dengan catatan bahasa Inggris (nan pengucapannya berbeda dengan tulisannya) sementara siswa sendiri medium
strunggling
membiasakan menulis dan membaca. Ini boleh membukit beban sparing mereka.
REFERENSI
Depdiknas, 2004.
Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Netra Tuntunan Bahasa Inggris Inferior 4-6 SD dan Mihun. Jakarta: Departemen Pendidikan Kewarganegaraan.
Huda, Nuril, 1999.
Language Learning and Teaching: Issues and Trends. Malang: Universitas Daerah Malang.
Kismadi, Gloria C., 2004. “Tiba Them Early: Teaching English to Young earners in Indonesia”, dalam Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.), 2004.
The Tapestry of English Language Teaching and Learning in Indoensia. Malang: State University of Malang Press. Pp. 253 – 264.
Long, Michael, 1990. “Maturation Constarints on Language Development”,
Studies in Second Language Acquisitions, 12, pp. 251 – 285.
Luciana, 2004. “Teaching and Assessing Young Learners’ English: Bridging the Gap”, Dalam Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.), 2004.
The Tapestry of English Language Teaching and Learning in Indoensia. Malang: State University of Malang Press. Pp. 265 – 280.
Singleton, D., 1989.
Language Acquisition: The Age Factors. Philadelphia: Multilingual Matters Ltd.
Sujana, I Made, 2001. “Critica Period: Does it Exist in Language Acquisition?”.
Jurnal Ilmu pendidikan FKIP UNRAM, No. 50, Tahun XIV Maret 2001.
Sutarsyah, Cucu, 2004. “Designing an “English for Young Learners” Course as a Part of English Department Curriculum”, dalam Cahyono, Bambang Yudi dan Utami Widiati (ed.), 2004.
The Tapestry of English Language Teaching and Learning in Indoensia. Malang: State University of Malang Press. pp. 280 -290.
Vale, Dave, 1995.
Teaching Children English. Cambridge: CUP
===================
Garitan:
*) Beberapa bagian tulisan ini pernah disampaikan puas Workshop Temperatur-Guru Bahasa Inggris SD se-Pulau Lombok di Gerendel Bahasa UNRAM atas dukungan dana P8KT DIKTI
**) Dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mataram dan Kordinator Ekspansi Materi UPT Pusat Bahasa UNRAM
***) Guru Bahasa Inggris di SMP Kewedanan 14 Mataram dan banyak bertekun puas Tutorial Bahasa Inggris untuk Momongan-Anak (English for Children)
Source: https://imadesujana.wordpress.com/2016/09/05/bahasa-inggris-untuk-sekolah-dasar-mau-ke-mana/comment-page-1/